Lukas 10:38-42
Di dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, Yesus menegur seorang ahli Taurat yg hanya bisa berdebat theologis tapi kurang jujur, kurang tulus dan tidak sungguh2 mencari kebenaran. Yesus menganjurkan dia untuk menjadi seorang sesama yang aktif melakukan pertolongan dan peka terhadap kesulitan yang ada di sekitarnya. Gerakannya seperti dari pasif menuju aktif. Ini cerita orang yang hanya bicara saja, tapi tidak pernah melakukan. Yesus mengakhiri cerita ini dengan kalimat yang sederhana yaitu “Pergilah dan perbuatlah demikian.”
Sementara, pada bagian ini, kita seperti melihat gambaran teguran dari aktif menuju kepada pasif. Padahal di dalam perikop sebelumnya, orang yang pasif, didorong supaya aktif melakukan, tetapi dalam bagian ini, orang yang sudah aktif didorong supaya menjadi pasif, diam mendengar Firman Tuhan. Saya percaya gambaran ini agak keliru, karena isunya disini bukan masalah aktif dan pasif, bukan tentang orang yang suka kerja dan orang yg temperamen dasarnya pendiam dan suka mendengarkan. Kalau kita tidak melihat bagian ini dengan jelas, saya percaya, kita akan banyak sekali bingung waktu kita membaca bagian Firman Tuhan yang seolah-olah banyak kontradiksi atau tension.
Kalau kita melihat di dalam pembukaan kalimat ayat 38, kita sudah langsung bisa mengenali, bahwa ini sangat berciri kalimat Lukas. Lukas menggambarkan seluruh perjalanan Yesus sebagai satu perjalanan menuju ke salib (motif perjalanan). Baik dia di Galilea atau di luar Galilea, Yesus berjalan menuju ke salib. Itu adalah fokus yang tidak bisa digeser di dalam kehidupan Yesus. Saya tertarik pada bagian ini, seringkali dikatakan menuju perjalanan, tetapi di tengah-tengah perjalanan masih bisa menyembuhkan orang sakit, singgah di Yerikho bertemu Zakheus, singgah ke satu kampung bertemu Martha dan Maria. Saya percaya, kalau kita mengerti prinsip ini, kita baru mengerti konsep focus yang sebenarnya yang dibicarakan oleh Yesus. Dia tidak memandang salib, seperti memakai kacamata kuda dan lalu mengabaikan yang lain. Model fokus seperti itu, bukan model pelayanan Yesus Kristus. Kita juga tidak mengerti konsep fokus salib seperti pengertian itu. Sebaliknya, Lukas selalu mencatat, meskipun Yesus datang mengunjungi Martha, Maria, Lazarus, menyembuhkan orang buta dan sebagainya, Dia tetap jelas bahwa fokusnya salib. Akan tetapi focus akan salib bukan berarti tidak memperhatikan hal-hal lain disekeliling-Nya. Ada orang yang mengerti fokus secara salah, benar-benar tidak mau gangguan, hanya mau satu itu saja sampai yang lain akhirnya terbengkalai, lalu hidupnya menjadi sempit, reduktif dan tidak ada kelimpahan. Itu bukan pengertian fokus yang dibicarakan disini. Dari kalimat “Yesus dan murid-murid-Nya di dalam perjalanan,” maksudnya sudah pasti menuju salib, “Tibahlah Dia di sebuah kampung.” Sambil punya fokus sambil melihat sangat peka apa yang terjadi di sekeliling-Nya. Lalu Dia masuk ke kampung ini. Sekali lagi ini bukan penundaan salib, sama sekali bukan. Yesus tahu kapan saatnya Dia naik ke salib, dan Dia menggunakan waktu-Nya dengan sangat efisien, termasuk masuk ke kampung ini. Ini bukan kebetulan dan juga bukan buang-buang waktu, bukan hal yang sia-sia.
Di sini dicatat dengan sederhana, “Seorang perempuan yang bernama Martha menerima dia di rumahnya.” Di dalam kultur kuno, salah satu kebajikan yang sangat perlu adalah keramah-tamahan, termasuk juga di dalamnya menyambut orang, membuka pintu rumah. Melakukan keramah-tamahan bukan hal yang sederhana, karena di situ kita harus mempersilakan orang yg seringkali punya kebiasaan sangat berbeda dgn kita. Pada intinya, pada waktu kita membuka rumah untuk orang lain, kita mendapat ‘gangguan’, ada sesuatu yg asing masuk ke dalam lingkaran kehidupan kita dan itu tidak mudah, khususnya bagi mereka yang sangat dididik di dalam kultur bahwa privacy itu penting.
Dalam kultur privacy, didukung oleh theory human rights, setiap orang berhak melakukan segala sesuatu asal jangan mengganggu orang lain, tetapi orang lain juga jangan mengganggu saya. Sulit untuk menjunjung kebajikan membuka pintu rumah. “Saya tidak mengganggu kamu, demikian juga kamu jangan masuk ke dalam kehidupan saya terlalu dalam. Ada lingkarannya dan tolong perhatikan jaraknya, jangan sembarangan masuk. Itu mengotori halaman dan hidup orang saya.” Tetapi Martha bukan orang yang demikian. Ia membuka rumahnya, menerima dan menyambut Yesus dirumahnya. Dan di dalam gambaran seperti ini, sebenarnya wajar kalau dia membuat sesuatu untuk Yesus. Yang tidak ‘wajar’ sebenarnya malahan Maria. Kalau saudara kedatangan tamu, terus dia duduk, saudara juga duduk, tidak menawarkan minum, malahan menunggu dia bicara, agak aneh bukan? Waktu kita melihat secara natural, Martha melakukan hal yang sama sekali ‘normal’ dan sangat ‘wajar’ karena dia melakukan apa yg kebanyakan dari kita mungkin juga akan melakukannya ketika kedatangan tamu. Tetapi mengapa di dalam bagian Firman Tuhan ini seperti menjungkirbalikkan tata karma, yang bukan saja popular pada saat itu, bahkan juga popular sampai zaman kita sekarang?
Maria dikatakan duduk di bawah kaki Yesus. Suatu sikap yg menyatakan penghargaan kpd Yesus sebagai Guru dan kesiapannya untuk diajar. Ini adalah point pertama yg penting, yg membedakan dia dg Marta. Maria menangkap saat itu sebagai saat yang tidak boleh disia-siakan dan dilewatkan, siap sebagai seorang murid yang mau mendengarkan kalimat2 dari Yesus, karena Maria mengerti bahwa ini adalah suatu berkat yg sangat besar. Menangkap kesempatan, merendahkan diri menjadi seorang murid dan menyediakan satu keadaan di mana Tuhan Yesus boleh langsung bicara sebagai Guru yang mengajar.
Meskipun Martha melakukan hal yang sangat ‘normal’ dan ‘wajar’, tetapi dia tidak ada bagian ini. Dia boleh menyambut Yesus tetapi dia tidak menyambut Yesus sebagai Guru. Dia tidak meletakkan dirinya sebagai seorang murid yang sudah siap diajar. Yang ada ialah semacam kesombongan tersembunyi. Mungkin dia melihat Yesus sudah lesu sekali, sehingga mungkin merasa harus melayani-Nya, menyediakan makanan karena Dia sudah kelihatan lapar sekali dan sebagainya. Menolong dan melayani adalah hal yang baik. Tetapi bisa ada satu kesombongan yang terselubung, yang sering kali kita sendiri tidak sadar. Waktu seseorang menolong, dia bisa berada dalam spirit mengasihani, spirit heroic, spirit berada di atas. Kita mungkin akrab dengan kalimat “No one comes to help and to contribute. Everybody comes to learn and to serve” (Stephen Tong), Saya boleh tambahkan sedikit, mungkin agak provokatif, “to serve pun juga bisa dengan spirit contributive!” Martha dikatakan serving. Tuhan tidak mengatakan kamu contribute, tetapi sesungguhnya, waktu dikatakan melayani, spirit Marta adalah spirit membantu. Dia tidak sadar, bahwa sebetulnya Yesus datang di situ untuk melayani dan alangkah baiknya kalau dia sadar sebagai orang berdosa, dia perlu dilayani terlebih dahulu, daripada langsung melayani. Saya tertarik pada terjemahan ESV yang mengatakan, “Martha was distracted with much serving.” Distracted itu bahasa Indonesianya tidak bisa focus. Saudara yang sedang mengerjakan sesuatu yg penting lalu datang hal2 yg mengganggu konsentrasi, itu namanya distraction.
Itu istilah yang dikatakan oleh Yesus Kristus. Bukan hanya sekedar sibuk. Sibuk adalah satu hal. Alkitab bukan berlawanan dengan orang sibuk, tetapi orang yang sibuk, melakukan banyak hal, much serving dan akhirnya distracted, maksudnya kehilangan fokus di dalam apa yg dikerjakannya. Selalu sibuk, namun tidak tahu lagi pelayanannya menunjuk ke mana. Sia-sia juga tidak, karena pekerjaan selalu ada. Karena sibuk, dibilang tidak berarti, hidup toh berarti, tetapi sebetulnya artinya apa juga tidak jelas. Yg jelas adalah setiap hari ada kesibukan. Dalam bahasa aslinya, istilah yang dipake disini adalah “banyak diakonia” (diakonia sbg pelayanan dalam pengertian yang luas). Dipakai istilah yang sangat positif: diakonia. Kritik yg dicatat di sini bukanlah pada kata diakonia-nya, melainkan pada “banyak” yg tidak ada focus.
Yang menarik, di dalam bagian ini, kita juga bisa menyelidiki ciri-ciri orang yang terkena syndrom Martha-wi. Yang pertama, ada perasaan mengasihani diri sendiri. Khas bagi orang yang jatuh ke dalam persoalan seperti ini, ada kalimat, “Tuhan tidakkah Engkau peduli?” Orang yang mengasihani diri tidak ada kekuatan lagi untuk mengasihani orang lain, karena dia berusaha untuk menarik, kalau boleh seluruh kasih yang di dalam dunia ini, kepada dirinya sendiri. Mengasihani diri yang paling parah diakhiri dg bunuh diri. Orang bunuh diri pada dasarnya mengasihani diri sendiri, supaya orang mengatakan, “Jangan! Kami semua mengasihi engkau.” Orang semacam itu benar-benar kasihan/pitiful, karena orang yang seperti itu tidak ada kekuatan lagi untuk mengasihi orang lain dan untuk menikmati serta menghargai anugerah Tuhan yang ada disekelilingnya. Yang ada adalah dia merasa kehidupannya itu sangat kasihan dan sangat butuh perhatian orang lain.
Yang kedua, dia merasa tersendiri. Martha mengatakan, “Orang ini, Maria, left me to serve alone.” Ada kesendirian dalam pengertian yang positif, misalnya saat teduh (solitude). Kita tidak bisa terus berada dlm keramaian, kumpul-kumpul terus, harus ada waktu sendiri. Tetapi kita tidak membicarakan yang ini, kita sedang membicarakan orang yang tidak bisa menikmati berkat persekutuan dengan orang lain. Hidupnya merasa tersendiri. Di dalam kultur modern, ada istilah yang sangat menarik, ‘The Lonely Crowd’. Sebaliknya ada orang yang di dalam keadaan yang mungkin tidak banyak ramai-ramai, tetapi punya kecukupan dan kelimpahan hidup. Orang sibuk umumnya ada satu kebanggaan bahwa hidupnya sangat berarti. Ternyata juga tidak, Martha justru merasa tersendiri. Kegiatan dan aktivitas, tidak mampu untuk menyelamatkan kesendiriannya. Kita mungkin perlu kritis dengan anjuran popular yg mengatakan jika kita kesepian sebaiknya mencoba untuk mencari kegiatan dan kesibukan, supaya kita ada distraction dari ketersendirian kita. Mungkin memang bisa membantu untuk sementara, namun jika kita gagal menangkap inti persoalannya, kita yg melakukan kegiatan sesibuk apa pun juga bisa tetap merasa tersendiri. Yesus tidak menganjurkan terapi seperti itu bagi Martha. Ada persoalan yang lebih dalam.
Yang ketiga, perasaan berbeban berat. Kalau kita melayani Yesus, harusnya melayani dengan sukacita. Martha malah merasa berat. Dia bukan merasa ada kenikmatan dan sukacita, tetapi merasa ini satu beban, sehingga dia mengeluarkan kalimat “Suruhlah dia membantu aku.” Maksudnya dia tidak bisa lagi kerja sendirian seperti ini, harus ada orang lain yang membantu dan sebagainya. Ironis. Tadi kita katakan, “datang dg spirit membantu”, orang yang datang dengan spirit mau membantu, menolong dan merasa dirinya pahlawan membantu orang lain, akhirnya waktu dia mengerjakan, kekuatannya terkuras, capek dan akhirnya mengatakan, “Siapa yang mau tolong saya?” Ternyata dia sendiri yang perlu bantuan. Aneh ya. Itu namanya perendahan orang yang congkak. Alkitab mengatakan, “Orang yang congkak akan direndahkan.” Kita merasa mau menolong orang lain, nanti Tuhan akan merendahkan kita sampai kita sadar, bahwa kita sendiri perlu pertolongan dan bhw kita tidak di dalam posisi menolong orang lain. Pembentukan yang seperti ini menyakitkan.
Ketika kita melakukan hal yang baik, hal-hal yang rohani, ada alat ukur spiritual untuk menilai, yaitu apakah kita merasa lebih merasa berbeban berat, atau menikmati dg sukacita. Kita tidak mengatakan, bahwa tidak ada penyangkalan diri sama sekali. Tentu saja ada saat2 yang seperti kita terpaksa melakukan hal yg baik tersebut, tidak selalu pasti dimulai dg sukacita dan kenikmatan. Hal2 spt demikian selalu membutuhkan penyangkalan diri. Tetapi di dalam penyangkalan diri tsb, setelah kita melakukannya, kita akan mengalami peneguhan dari Tuhan dan sukacita sebagai ganjarannya. Kita malah akan menyesal jika kita tidak mengambil bagian itu. Dari penyangkalan diri, yang tadinya ‘berat’, ketika dilakukan akhirnya berubah menjadi sukacita. Itu adalah konfirmasi bahwa kita tlh melakukan apa yang Tuhan kehendaki. Bukan tidak ada penyangkalan diri, namun bahwa pada akhirnya, kita harus mengalami kenikmatan di dalam pelayanan kita. Kalau kita semakin melayani, semakin uring-uringan, semakin merasa tersendiri, merasa tanggungan berat, bukan hanya dalam pelayanan gerejawi, tetapi juga pelayanan rumah tangga, di tempat pekerjaan dsb, itu adalah sindrom Marthawi. Di dalam pengertian seperti ini, kita harus instropeksi lagi, apakah sesuatu itu adalah bagian yang dipercayakan Tuhan atau tidak.
Yang keempat, dia cenderung menjadi super sensitif, lalu ekspresi biasanya adalah menyalahkan orang lain. Ini persis dengan kejatuhan manusia di Kitab Kej. 3. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, ekspresi yang dilontarkan adalah saling menyalahkan satu dengan yang lain. Tidak menutupi kesalahan orang lain, tidak sabar dan saling mengampuni, malahan saling menyalahkan. Menyalahkan orang lain dan tidak ada responsibilitas adalah cara berpikir anak kecil. Waktu seorang menyalah-nyalahkan, pertama dia pasti tidak bisa menutupi kesalahan orang lain. Yang kedua, waktu dia menyalahkan orang lain, dia sendiri juga tidak instropeksi bahwa dia sendiri juga punya bagian di dalam kesalahan itu. Dia tidak peka terhadap kesalahan diri sendiri, tetapi sangat peka dengan kesalahan orang lain. Di dalam Kejadian 3 juga begitu. Bukannya instropeksi, minta pengampunan dari Tuhan, mengakui dan menyesal mengapa tidak membimbing Hawa, padahal sudah tahu Hawa terbujuk, Adam malah melontarkan kesalahannya kepada Hawa. Tuhan yang disalahkan. Tuhan memang yg menambahkan Hawa bagi Adam, akan tetapi, dengan tambahan satu orang itu, Adam sendiri juga harus dewasa dan bertanggung jawab terhadap orang ini, membimbing dan mengasihinya, bukan menyalahkan seperti itu. Melempar tanggung jawab kpd orang lain adalah sikap kekanak-kanakan. Hawa sendiri juga tidak bisa bertanggung jawab, menyalahkan ular, yang sebenarnya juga berarti menyalahkan Tuhan. Tuhan tidak berdebat untuk menanggapi kekanak-kanakan manusia. Tetapi sekali lagi, kita membaca gambaran manusia di dalam ketidak dewasaannya waktu dia tidak bisa instropeksi. Dia tidak bisa menutup kesalahan orang lain, yang ada perasaan beban berat, lalu di dalam keadaan konflik, cenderung menyalahkan orang lain. Dia sendiri tidak mau tanggung jawab, play safe. Martha tidak masuk ke dalam sikap instropeksi diri. Yesus sebenarnya tidak minta apa-apa. Martha sendiri yang terus merasa dibebani. Mungkin ini juga adalah cirri khas yg lain lagi dari sindrom ini: melihat orang lain sebagai beban.
Waktu Naomi, dalam keadaan depresinya, dia tidak bisa melihat penyertaan Ruth itu sebagai sesuatu yang memberkati dan menolong dia. Dia malah melihat Ruth sebagai beban. Ada perasaan over responsible. Tidak bertanggung jawab tidak baik, tetapi kelebihan tanggung jawab juga sering kali menghancurkan kita. Dia merasa segala sesuatu harus dia yang mengerjakan. Demikian juga Martha. Waktu Yesus datang, dia merasa semuanya adalah tanggung jawab dia, dimana dia harus memikul semuanya sampai akhirnya dia meledak dan tidak kuat lagi.
Jawaban Yesus sederhana, akan tetapi mencakup banyak hal, “You are anxious and troubled about many things.” Saya tertarik dengan istilah banyak hal, yang merupakan kontras dengan istilah yang disampaikan Yesus dalam ayat 42, only one thing is necessary. Apakah ini lalu berarti Tuhan Yesus lebih setuju kepada filosofi satu daripada filosofi banyak? Bukan itu poinnya, sama seperti tadi isunya, bukan aktif dan pasif, tetapi ada satu hal yang ingin dinyatakan disini. Tadi kita membahas ttg distraction. Persoalannya bukan pada banyak halnya, tetapi banyak hal yang dikerjakan dengan tidak ada satu fokus yang mengikat, akhirnya banyak hal itu mengalihkan (distraction).
Kita hidup didalam keadaan ekonomi yang tidak menentu. Di dalam keadaan seperti ini, perampingan-perampingan terjadi, akhirnya satu orang harus kerjakan pekerjaan 3 orang. Kita protes juga tidak ada kekuatan, harus taat, kalau tidak akan diberhentikan. Lalu semakin lama, harus bisa semakin banyak, semakin multitasking, semakin bisa jadi renaissance man. Bukankah itu visi yang mulia? Nanti dulu. Renaissance man memang mengagumkan, tetapi itu takaran yang dari Tuhan atau bukan? Di dalam bagian ini, waktu Martha melayani Tuhan, dia sebenarnya melampaui takaran yang Tuhan tetapkan. Tuhan tidak pernah minta bagian itu. Dan waktu melampaui, akhirnya gusar sendiri, tidak ada damai sejahtera dan akhirnya menyalahkan orang lain, merasa berbeban berat dan hidup susah sekali, penuh dengan perjuangan yg tidak perlu dan sebagainya. Banyak hal yang kita kerjakan, betul-betul dari Tuhan atau ini pikiran idealisme kita sendiri? Mungkin sebenarnya bagian orang lain tetapi, mungkin kita sendiri tidak sabar, karena mereka masih perlu banyak belajar dan krn itu melakukan banyak kesalahan, akhirnya beban itu kita ambil juga dengan serakahnya. Setelah ambil bagian orang lain terus uring-uringan. Siapa yang salah ya?
Satu keadaan pembelajaran dan pembentukan bagi kita juga, ketika kita melihat orang lain yang mengerjakan tidak beres. Kita mungkin sangat tergoda untuk mengambilnya. Kita tidak sanggup menyangkal diri di dalam bagian itu, akhirnya tanggung berat mengambil beban yang lain. Agaknya memang sulit bagi kita orang Timur untuk belajar mempercayai orang lain. Kita jelas melihat, bahwa Martha tidak harus mengerjakan bagian ini karena bagian ini bukan bagian yang dipercayakan Tuhan. Karena itu dia juga khawatir dan menyusahkan dirinya sendiri.
Satu hal saja bukan bukan berarti spiritualitas Pietis, yang mengejar kesederhanaan dlm pengertian ketunggalan. Kita tidak masuk ke dalam spiritualitas kesederhanaan seperti itu. Sebaliknya, bagaimana kita, yang hidup di dalam dunia yang penuh kerusakan dan hal yang harus kita atasi serta kerjakan, kita senantiasa punya satu fokus. Waktu kita tidak ada fokus di dalam kehidupan kita, kita tidak jelas yang mengikat dan mempersatukan banyak hal dlm kehidupan ini apa, keanekaragaman ini penataannya bagiamana, untuk apa serta kepada siapa.
Maria tahu Sumber satu-satunya. Dia tahu tempat peristirahatan ini, rahasia kehidupan dan memilih bagian yang terbaik (the good portion). Kalau kita membaca di dalam Mazmur dan Yosua, (khususnya Mazmur), sering kali dikatakan bahwa Tuhan itu sebetulnya adalah bagian kita. Akan tetapi Martha tidak melihat bagian ini. Dia tidak melihat persekutuan dengan Tuhan dan kehadiran Tuhan, sebagai bagian yang seharusnya diberikan juga kepadanya dan buka hanya bagi Maria. Dia malah sibuk mempersiapkan bagian untuk Tuhan. Yang ada di dalam pikirannya adalah bagaimana dia memberikan bagian kepada Tuhan.
Di dalam spiritualitas Reformed kita selalu menekankan apa yg telah Tuhan kerjakan bagi kita, dan bukannya apa yang telah kita berikan pada Tuhan. Adalah suatu kesedihan yg mendalam jika spiritualitas ini menjadi terbalik, yang terjadi justru adalah penekanan apa yang telah kita kerjakan (bagi Tuhan), ya hal2 besar sekalipun! Siapa sih yg sebenarnya melakukan pekerjaan besar? Tuhan atau kita? Despite keindahan kalimat wejangan dari John F. Kennedy (tanyalah apa yg telah kau berikan kpd negaramu dan bukan sebaliknya) dan juga lagu “Nyawa Ku-berikan bagimu, apa Kau beri pada-Ku?” pikiran Reformed harusnya selalu menekankan hal besar apa yang Tuhan sudah lakukan bagi kita. Apa yang Tuhan berikan kepada kita, bukan apa yang kita berikan kepada Tuhan. Pengertian anugerah yg seharusnya mendorong kita untuk melakukan sesuatu untuk Tuhan sbg suatu gerakan natural yg membuat kita mungkin melakukan hal besar, termasuk bagi Tuhan, tetapi jangan tidak mengingat hal besar yang Tuhan lakukan bagi kita. Kita mudah sekali menjadi sombong dan masuk ke spiritualitas menolong Tuhan. Akhirnya kita merasa penting sekali, kalau tidak ada kita semuanya menjadi hancur. Martha jatuh dalam bagian ini. Kapan ada saat kita tidak membutuhkan kehadiran Tuhan di dalam kehidupan kita? Tidak ada saat itu! Kapan ada saat kita bisa melayani Tuhan tanpa terlebih dahulu didorong, dilayani oleh Tuhan? Tidak ada saat itu. Yang ada di dalam kita adlh ‘I need Thee every hour’. I need Thee every second kalau kita boleh katakan. Martha tidak membiarkan dirinya terlebih dahulu ditopang dan diisi oleh Tuhan. Yang ada didalam dirinya adalah terlalu cepat berusaha untuk menolong Tuhan. Di dalam Mazmur 16:5 dikatakan “The Lord is my chosen portion.” Menyangkal diri untuk jadi receptive, itu pun juga adalah gerakan aktif, bukan gerakan pasif. Kita membedakan berserah dan menyerah (surrender and give up). Surrender itu bahasa militer. Waktu kita dikepung, tidak bisa lagi melawan, angkat bendera putih, menyerah lalu menjadi tawanan. Itu aktif bukan pasif. Kita perlu menyangkal diri dan merendahkan diri menjadi tawanan. Itu sama sekali bukan gerakan pasif, itu gerakan sangat aktif, mungkin jauh lebih aktif dari kita yang tidak bisa menahan diri, seperti Martha.
Hal yang baik, yang ada di dalam hidup Maria adalah dia mengenal satu-satunya Sumber kekuatan, yang dari-Nya semua hal mengalir. Waktu kita datang beribadah pada hari Minggu, itu juga pengalaman receptive, pengalaman kita menerima. Bukan kebetulan Yesus mengatakan anak-anak kecil yang mempunyai Kerajaan Sorga dan orang-orang kaya itu akan berhenti tertawa dan tawa mereka akan berubah menjadi tangisan. Orang-orang kaya susah sekali masuk ke dalam Kerajaan Surga. Apa yang menghindarkan orang kaya tidak bisa masuk Kerajaan Allah dibandingkan dengan anak kecil? Salah satu jawaban sederhana adalah anak kecil itu receptive dan mudah sekali menerima anugerah. Orang kaya sangat sulit mengerti (dan mengalami) anugerah. Alkitab mengajarkan, kalau kita mau hidup di dalam Kerajaan Allah dan kita tidak punya spirit receptif, kita tidak mungkin bisa mengerti realita Kerajaan Allah, karena Kerajaan Allah bukan hanya tentang memberi, tetapi juga menerima. Kita jarang membahas bagian ini, karena seolah-olah memelihara sifat kekanak-kanakan. Bagaimana pun kita bisa memberi dan melayani, kita tidak akan pernah keluar dari pengalaman menerima. Tidak ada sesuatu yang kita bisa berikan kepada orang lain yang tidak terlebih dahulu kita terima dari Tuhan. Paulus mengatakan, “Apa yang ada padamu yang tidak kau terima dari Tuhan?” Bisa membagi untuk orang lain, itu juga dari Tuhan. Semua dari Tuhan dan celakalah mereka yang melupakan apa yang mereka terima dari Tuhan, lalu berpura-pura seperti tidak terima dari Tuhan, lalu dengan spirit menolong membagi-bagi.
Hari Sabat, waktu perhentian, adalah pengalaman penerimaan ini. Duduk di bawah kaki Yesus, menikmati kehadiran Tuhan, seolah-olah merupakan suatu pengalaman yang sangat pasif, apalagi bagi kita yg terpolusi oleh kapitalisme, yang maunya berpikir apa yang kita harus raih dan capai di dalam hidup. Di dalam kultur yg sakit seperti ini, kita boleh bertanya: masih adakah pengalaman spiritualitas Maria, spiritualitas duduk di bawah kaki Tuhan, diam, mendengar, menerima dan menikmati perkataan Tuhan?