Selamat datang ke MRII Bern.

Kami senang atas kunjungan anda ke website kami. Kami berharap Saudara mendapatkan informasi yang diperlukan dan semoga artikel-artikel yang dimuat dapat menjadi berkat juga. Terlebih lagi, kami berharap bisa bersekutu bersama dengan Saudara di Kebaktian Minggu.


Ringkasan Khotbah

Khotbah Kebaktian Peresmian "Berbahagialah mereka..."
15 November 2009

Mengenai kebahagiaan, manusia bisa mempunyai pandangan yang sangat berbeda-beda. Ketika Sokrates berkata, "Remember, no human condition is ever permanent. Then you will not be overjoyed in good fortune nor too scornful in misfortune", ia sedang mengajarkan bahwa manusia harus belajar hidup dengan moderasi, tidak terlalu ini atau terlalu itu. Akan tetapi, moderasi mungkin bukanlah cara pandang yang terbaik akan keberuntungan atau kebahagiaan, melainkan penyangkalan diri, demikian setidaknya pandangan dari Epikurus dari Samos ketika ia mengatakan, "If thou wilt make a man happy, add not unto his riches but take away from his desires." Sebaliknya Leo Tolstoi berpendapat bahwa kebahagiaan bukan berkaitan dengan pembatasan kemauan, melainkan justru sebaliknya peneguhan kemauan, "Happiness does not consist that you can do what you want, but that you always want what you do." Atau haruskah seseorang selalu mulai dari diri sendiri, dari si "aku" ketika ia ingin menjadi berbahagia seperti yang dikatakan oleh Feuerbach, "Your first duty is to make yourself happy! If you are happy, you also make others happy." Hmm, seperti agak narcissistic ya? Mungkin kita mesti maklum juga, dia atheis soalnya. Bahwa kebahagiaan tidak hanya berkaitan dengan diri sendiri, melainkan terutama dengan orang lain, bukanlah suatu hal yang rahasia. Demikian misalnya dikatakan oleh theolog Bonhoeffer yang berjuang untuk keadilan semasa pemerintahan rezim Hitler, "There is hardly a more cheering feeling than to feel, that one can be something for other people." Namun seorang filsuf atheist yang lain yang bernama Camus agaknya punya pendapat yang lain ketika ia mengatakan, "To be happy, one must not deal with the neighbors too much." Pengalaman traumatis? Atau mungkin malah kebencian? Untuk mengakhiri koleksi kecil kutipan-kutipan tentang kebahagiaan ini, mungkin kita perlu mendengarkan apa yang dikatakan oleh pujangga besar Goethe, "If you want to live happily, hate nobody and and leave the future to God."

Nah, 'tiba-tiba' muncul kata Allah di sini. Apakah memang ada kaitan antara kebahagiaan dan Allah? Atau ini hanya merupakan pendapat orang-orang religius yang fanatik? Apa kebahagiaan itu? Dalam Sabda Bahagia (Mt. 5:2-10) Allah baru muncul pada ucapan bahagia yang keenam. Mengapa begitu 'lambat' ya? Sepertinya, Feuerbach ada benarnya ketika dia mengatakan bahwa untuk memikirkan kebahagiaan, kita harus mulai dari diri terlebih dahulu, maksudnya anthropologis, melalui pendekatan manusia. Kelihatannya kita memang dianjurkan untuk mulai dengan penghayatan kemiskinan manusia, "Berbahagialah mereka yang miskin di hadapan Allah". Apakah kita termasuk golongan manusia yang disebutkan di sini? Yaitu kelompok manusia yang memiliki pengenalan diri yang tepat di hadapan Allah, yang menyadari kebangkrutan dan kemalangannya? Allah menyebut kelompok manusia ini berbahagia. Sudah pada ucapan bahagia yang pertama kita langsung dikonfrontasi untuk melihat diri dengan jujur. Seluruh kegagalan kita, mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap kekuatan, telah dinyatakan gagal di depan salib Kristus. Kita bukan hanya tidak mampu untuk melakukan apa yang dikatakan oleh Firman Allah, kita bahkan gagal untuk menjalankan kehidupan yang diangan-angankan oleh Goethe, yaitu bahwa manusia jangan membenci sesamanya. Kita seringkali membenci Allah. Kita tidak suka Dia hadir dan mengawasi segala kehidupan kita. Kita sepertinya lebih bebas hidup tanpa Dia. Sulit agaknya bagi kita mengakui kegagalan ini. Kita terlalu bangga dengan kelebihan-kelebihan kita sendiri, yang tidak jarang sebenarnya lebih merupakan ilusi daripada kenyataan. Namun, seorang Martin Luther tampaknya mengenal kesulitan ini ketika dia bergumul dalam "pengalaman menara"-nya. Bukan dengan prestasi kita, melainkan oleh kebaikan dan belas kasihan Tuhan kita diselamatkan. Sekarang yang sering menjadi persoalan, pengakuan kegagalan serta ketidak-mampuan diri bukan hanya perlu terjadi sekali seumur hidup kita, yaitu katakanlah saat di mana kita menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita, melainkan, kita perlu melakukan pengakuan kekurangan dan kemiskinan ini berulang-ulang. Ya, sepanjang umur hidup kita. Jika kita telah memulai dengan kasih karunia, kita juga harus melanjutkannya dengan kasih karunia. Dari kasih karunia kepada kasih karunia. Ini memiliki arti yang sangat erat dengan dari iman kepada iman. Karena hanya melalui iman berarti mengakui ketidak-berdayaan kita dan mempercayakan seluruh hidup kita di bawah kasih karunia Allah saja.

Mereka yang belajar mengakui kemiskinan rohaninya di hadapan Allah, sekaligus adalah mereka yang berdukacita. Kita berdukacita atas kemiskinan rohani kita. Dukacita rohani yang dimaksud di sini tidak ada hubungannya dengan perasaan mengasihani diri yang seringkali timbul dari hidup yang berpusat kepada diri sendiri, melainkan lebih berkaitan dengan suatu penyesalan dan kesedihan yang dalam atas apa yang sudah kita perbuat di hadapan Allah. Penghiburan tidak dijanjikan tanpa dukacita rohani ini. Seni dihibur sekaligus adalah seni berdukacita. Tidak ada sukacita yang dalam tanpa penyesalan yang dalam atas dosa-dosa dan kekurangan kita. Karena hanya penyesalan inilah yang menyatakan tepatnya pengenalan kita atas kemiskinan rohani di hadapan Allah.

Berikutnya, melalui penyesalan dan dukacita, hati kita menjadi lemah lembut. Air mata yang diteteskan di hadapan Allah bukanlah merupakan tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan. Air mata demikian dihitung oleh Allah dan membuat hati kita lemah lembut. Menarik bahwa di sini kata lemah-lembut dikaitkan dengan mewarisi bumi. Suatu pengertian eskatologis, seperti yang sudah dikatakan oleh Goethe, yaitu bahwa manusia harus menyerahkan masa depan kepada Allah. Tetapi, apa hanya masa depan? Bagaimana dengan masa kini? Dapatkah kita mewarisi bumi di sini dan sekarang? Saya percaya, kita boleh menerjemahkan dengan sedikit bebas ayat ini dengan "mereka akan sanggup untuk menikmati bumi", karena kepemilikan yang benar tentu melibatkan kuasa/kesanggupan untuk menikmati. Bukanlah suatu hal yang terjadi dengan sendirinya bahwa manusia pasti dapat menikmati apa yang dia miliki. Kesanggupan menikmati datang dari Tuhan dan merupakan anugerah Tuhan. Dalam Firman-Nya kita membaca tentang seorang kaya yang tidak diberikan kuasa/kemampuan oleh Allah untuk menikmati apa yang dipunyainya. Menurut Firman Tuhan, kenikmatan sudah tentu tidak selalu berkaitan dengan kekayaan. Sebaliknya, kenikmatan sangat bergantung dari kelemah-lembutan. Terjemahan yang lain menggunakan kata "berbahagialah mereka yang bersahabat (die Freundlichen) ." Ada nuansa yang lain dalam terjemahan ini yang coba untuk menangkap kekayaan dari bahasa aslinya. Yang dimaksud di sini dengan lemah-lembut bukan hanya sekedar penguasaan diri (misalnya sebagai lawan kata kemarahan), melainkan terutama melibatkan orang lain, aspek relasional.

Mereka yang lemah-lembut atau yang bersahabat juga adalah mereka yang lapar dan haus akan kebenaran-keadilan. Hanya orang-orang yang berhati lembut yang siap untuk memiliki selera rohani seperti itu. Kita hidup dalam dunia yang dipenuhi ketidak-adilan. Sebagai orang percaya, bagaimana kita harus bersikap? Ucapan bahagia yang keempat ini sangat penting, sehingga pengertian kita tentang kelemah-lembutan tidak disamakan dengan semacam sikap pasivisme yang salah. "Kelemah-lembutan ... tidak sabar menanggung, bahwa ... seseorang mendapat perlakuan kekerasan dan ketidak-adilan" (Gaechter). Sementara Reformator Zwingli memperingatkan kita bahwa kelemah-lembutan harus dibedakan dari kelunakan (Weichheit). Kelemah-lembutan yang sejati dan lapar serta haus akan kebenaran-keadilan tidak dapat dipisahkan. Sebagai seorang percaya kita juga memiliki tanggung-jawab politis. Barangsiapa lapar dan haus akan kebenaran-keadilan, mereka akan mendapat kepuasan yang sejati dari Tuhan. Di sini, di dunia ini, kita hanya mengalami kebenaran-keadilan Allah sebagian, namun ini tidak berarti kita boleh kehilangan pengharapan dan ketekunan kita.

Ucapan bahagia yang berikutnya berbicara tentang murah hati/belas kasihan. Ini merupakan suatu kelanjutan yang penting dan sangat perlu, karena pencarian kebenaran-keadilan yang tidak disertai oleh kemurahan atau belas kasihan akan menjadi suatu bentuk keagamaan yang sangat menakutkan. Mulai dari bentuk keagamaan a la Farisi yang merasa benar sendiri dan lebih baik daripada orang lain sampai kepada penggunaan kekerasan atas nama agama. Orang-orang Farisi misalnya sangat berambisi dalam melakukan Taurat dan seolah-olah sangat memperjuangkan keadilan, namun mereka sangat sedikit mengerti apa artinya belas kasihan. Yang terpenting dalam hukum Taurat, menurut Yesus Kristus, adalah keadilan, belas kasihan dan kesetiaan/iman (Mt. 23:23). Berbahagialah mereka yang murah hati, karena mereka akan beroleh kemurahan. Apakah konsep ini terdengar seperti kurang Reformed? Apakah belas kasihan Allah tergantung dari sikap belas kasihan manusia? Bukankah kita seringkali belajar dari Alkitab sendiri, Allah adalah sumber segala kebaikan? Saya percaya, kita harus mengerti logika yang digunakan di sini secara sebaliknya: hanya mereka yang bermurah hati/berbelas- kasihan yang sungguh-sungguh siap untuk menerima belas-kasihan/ kemurahan Allah, karena ketika mereka memperoleh belas-kasihan Allah, mereka akan meneruskan tindakan belas-kasihan ini kepada sesama mereka. Belas-kasihan Allah, pemberian dan karunia Allah bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan untuk membangun dan memberkati sesama kita.

Untuk menghindarkan kekacauan pengertian tindakan belas-kasihan yang dimaksud di sini dengan pandangan Humanisme sekuler (yang juga mengajarkan belas-kasihan) , maka kita membaca berikutnya bahwa kebahagiaan itu diberikan kepada mereka yang murni/suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Tindakan belas-kasihan yang dimaksud dalam ayat sebelumnya tidak boleh dimengerti hanya sebagai suatu tindakan horisontal kepada sesama manusia tanpa Allah, melainkan merupakan suatu tindakan belas-kasihan yang memiliki karakter theosentris (berpusat kepada Allah). Sama seperti sebelumnya, demikian pula ayat ini dapat kita mengerti baik secara eskatologis (menunjuk kepada kehidupan yang akan datang, melihat Allah dalam kekekalan), akan tetapi juga sebagai suatu penghayatan yang dapat dinikmati, atau lebih tepat, dicicipi, sekarang dan di sini. Bagi Thomas Aquinas, visio Dei, penglihatan akan Allah adalah kegenapan dari theologi. Pertanyaannya, dapatkah kita mengalami kemuliaan yang akan datang, meskipun hanya sebagian dan hanya sebagai cicipan, di sini dan sekarang? Alkitab mengatakan: hanya melalui hati yang suci/murni. Sekarang pertanyaan berikutnya: siapakah di dunia ini yang begitu suci? Bukankah tadi sudah dikatakan bahwa kita semua adalah orang-orang berdosa yang gagal di hadapan Allah? Pengertian akan kesucian/kemurnian hati di sini tidak boleh dikacaukan dengan gambaran suatu kondisi moral yang sempurna. Jika demikian halnya, apa yang dimaksud suci/murni hatinya? Hal itu lebih berkaitan terutama dengan arah hati, yaitu mereka yang mempunyai fokus tunggal dalam kehidupan mereka. Sebuah tulisan Kierkegaard diberi judul "Purity of Heart is to Will One Thing". Gloria Dei, kemuliaan Allah sebagai satu-satunya fokus bagi seluruh aspek kehidupan kita: keluarga, karir, persahabatan, tindakan keagamaan, ya bahkan hobby dan waktu senggang kita. Ketika ketika melakukannya untuk kemuliaan Allah, maka kita juga akan melihat Allah dalam semuanya, karena kita memang dilingkupi oleh kehadiran-Nya yang ajaib. Dalam konteks theologia crucis-nya (theologia salib), Luther mengatakan, "seseorang harus melihat ke bawah, bukan ke atas, sebagaimana yang telah dilakukan Allah", dan "mencari Allah di antara orang-orang yang malang, yang tersesat, yang lemah/tidak berdaya", "di situlah manusia melihat Allah, di situlah hati menjadi suci dan semua kecongkakan ditanggalkan" ("man solle nicht in die Höhe, sondern in die Tiefe streben, wie es Gott selbst getan hat", und "Gott in den Elenden, Irrenden und Mühseligen suchen", "da schaut man Gott, da wird das Herz rein und aller Hochmut liegt darnieder."

Ucapan bahagia yang ketujuh berbicara tentang orang yang membawa damai, yang disebut anak-anak Allah. Beberapa waktu yang lalu kita membaca bahwa Obama memperoleh hadiah Nobel untuk perdamaian dan tidak lama kemudian banyak komentar yang bermunculan di surat kabar. Salah satu surat kabar terkenal ada yang menulis "Mr. Peace and his war". Kritikus yang lain dari Wall Street Journal menulis, "A leader can now win the peace prize for saying that he hopes to bring peace at some point in the future." Perhatikan terutama kata "in the future". Terlepas dari kesederhanaan sikap Obama yang merasa hadian Nobel itu lebih merupakan suatu tantangan untuk dibuktikan daripada penghargaan atas apa yang sudah dia lakukan, kita tetap mendapati sesuatu yang janggal memang dalam pemberian hadian Nobel itu. Renungan singkat ini bukan suatu perenungan politis, baik pro maupun kontra Obama. Kita hanya ingin membandingkan sedikit saja, konsep perdamaian yang juga dibicarakan oleh Matius dalam catatannya tentang ucapan bahagia. Dalam kehidupan Yesus, kita dapat melihat bahwa untuk membawa kedamaian, Yesus telah mengorbankan diri-Nya sendiri. Dalam beberapa bahasa kata korban agaknya sedikit tidak jelas dan membingungkan. Kita berbicara tentang korban yang hidup bagi Tuhan, korban persembahan, korban ucapan syukur, tapi kita juga bicara tentang korban bencana alam, korban perang, korban kekerasan dlsb. Maka ada yang mengusulkan pembedaan kata korban dan kurban dalam bahasa Indonesia . Kurban untuk yang pertama, sedangkan korban dipakai untuk penggunaan yang terakhir. Di dalam bahasa Latin misalnya (sebagaimana diikuti dalam bahasa Inggris) dua kata ini dibedakan dengan sangat jelas yaitu victima dan sacrificium. Yesus bukan victima, melainkan Dia telah menyerahkan diri-Nya sebagai suatu sacrificium yang hidup di hadapan Allah. Dengan kata lain, yang dimaksud di sini bukan korban dalam pengertian ketidak-berdayaan atau penerimaan nasib, melainkan lebih merupakan suatu kurban yang dipersembahkan dengan aktif dan terutama, dengan kerelaan hati. Yesus sebagai anak Allah yang tunggal telah mengurbankan diri-Nya di atas kayu salib demi perdamaian umat manusia dengan Allah. Kita sebagai orang percaya juga dipanggil untuk membawa damai di dunia yang penuh dengan konflik dan pertentangan, permusuhan ini dengan mengurbankan diri kita, hidup kita. Ada harga yang harus dibayar untuk sebuah perdamaian. Yesus telah membayar dengan tubuh dan darah-Nya sendiri. Kita dipanggil untuk mengikuti jejak pengurbanan- Nya.

Yang terakhir, sementara kita seorang pengikut Kristus belajar untuk membawa damai, kemungkinan besar tidak akan ada hadiah Nobel yang akan diterimanya, melainkan justru penganiayaan karena kebenaran. Kesalahan apakah yang telah dilakukan oleh Yesus? Kejahatan apa yang menyebabkan Dia diperlakukan demikian? Bukankah Dia ingin memperdamaikan Allah dan manusia, namun apakah yang telah diperoleh-Nya? Kematian di atas kayu salib. Karena ciptaan-Nya tidak mau menerima Dia dan mendengarkan suara-Nya. Mereka menolak untuk dipimpin kepada pengenalan diri yang benar dan membebaskan. Mereka lebih suka membenci orang yang memaparkan diagnosa apa adanya tentang keadaan diri mereka yang sesungguhnya. Demi kebenaran-keadilan, demi kebenaran yang dari Allah, kita harus belajar untuk memiliki keberanian, bahwa kalimat-kalimat yang keras dari Firman Allah diberitakan kepada umat manusia. Akan selalu ada resiko dibenci, bahkan mungkin juga dianiaya, namun kita tidak perlu takut karena kita harus lebih menaati Allah daripada manusia. Rangkaian sabda bahagia ini dimulai dengan janji mempunyai Kerajaan Allah dan juga diakhiri dengan mempunyai Kerajaan Allah. Kita mungkin mengharapkan suatu pembahasan kebahagiaan yang dari bawah (miskin rohani di hadapan Allah) menuju kepada sebuah klimaks (misalnya kaya di hadapan Allah). Namun kita akan dikecewakan dengan pengharapan seperti ini karena seluruh ucapan bahagia ini ditutup dengan "dianiaya oleh sebab kebenaran". Dengan kata lain, kita mungkin perlu mengoreksi konsep kita akan apa arti dari kekayaan rohani, kelimpahan hidup yang sejati menurut ayat-ayat ini. Bagi Matius, kelimpahan hidup, kekayaan rohani yang sesungguhnya adalah ketika kita siap untuk menderita bagi Tuhan, bukan sebagai victima, melainkan sebagai suatu sacrificium, suatu kurban yang hidup yang dipersembahkan kepada Tuhan. Kiranya Tuhan menolong kita untuk mengalami kehidupan yang sedemikian.

(Pdt. Billy Kristanto)